Ilustrasi, dok: duajari.com |
MediaTani - Menyusutnya lahan pertanian di Sukatani ternyata tidak hanya
disebabkan keinginan dari petani untuk menjualnya. Namun ada faktor lain yang
menyebabkan lahan pertanian begitu mudah berpindah tangan dan menjadi
perumahan.
Kepala Balai Penyuluhan Pertanian Peternakan dan Kelautan
(BP3K) Sukatani, Ajat mengatakan, saat ini mafia tanah banyak yang
bergentayangan dengan menakut-nakuti petani. Biasanya, petani dipaksa untuk
menjual lahan pertaniannya ke pengembang perumahan ataupun perusahaan.
Tidak jarang petani diintimidasi atau diancam, bahkan
menggunakan cara-cara kekerasan agar mau menjual tanahnya kepada pengembang.
“Kalau dulu pas zamannya Pak Abdul Fatah, ada patok di
tengah sawah malah diambilin sama dia, dicabut, dicari siapa yang masang patok,
kalau sekarang kan enggak, malah petani sampe diancem golok kalau gak mau
dijual, banyak rombongan calo tanah Indonesia lah kalau sekarang mah,”
candanya.
Menurut Ajat, di saat mafia tanah bergentayangan, peran
kecamatan dan desa harus lebih menonjol. Pihak kecamatan dan desa semestinya
tidak ikut menekan atau membohongi petani agar lahan pertaniannya dijual.
“Kalau dilihat secara harta dibilang mampu lah ya, untuk
tidak mudah melepas sawahnya sekalipun ada investor mau beli, tapi sama
pemerintah kan ditakut-takutin, katanya kalau gak dijual, nanti diambil sama
pemerintah,” ungkapnya.
Ulah mafia tanah tidak lagi sekadar mengkhawatirkan, tapi
juga mengancam kehidupan petani dengan memaksa agar lahan pertanian dijual.
Sayangnya, kata Ajat, tidak ada petugas yang berani bertindak menyelesaikan
persoalan tersebut.
“Yang jelas mah tidak ada ketegasan dari pemerintah, mau itu
camat, lurah, bupati, dinas, gak ada satu pun yang sepertinya mendukung
pertanian di Kabupaten Bekasi, khususnya di Kecamatan Sukatani sendiri,”
tuturnya. (ich)