MediaTani - Dirjen Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian belum lama ini mengeluarkan aturan
terkait produksi kopi luwak yang memenuhi prinsip kesejahteraan hewan. Makin
tingginya harga dan minat konsumen terhadap komoditas eksotis ini, menimbulkan
kecenderungan kopi luwak dihasilkan dengan cara eksploitasi luwak hingga
pemalsuan.
"Tingginya harga dan minat
konsumen memunculkan adanya upaya menghasilkan biji kopi luwak dengan cepat
dalam jumlah banyak, tanpa memenuhi standar dan akhirnya merugikan
konsumen," ungkap Dirjen Pengolahan dan Penasaran Hasil Pertanian (P2HP)
Emilia Harahap, saat mengunjungi Pusat Penangkaran dan Edukasi Rumah Kopi
Cikole di Lembang, Bandung, Kamis (9/7/2015).
Kementerian Pertanian kemudian pada
lalu menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
No.37/Kementan/KB.120/6/2015 yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada 16
Juni 2015. Kini para pengusaha ditantang untuk memperhatikan aspek
kesejahteraan luwak, mulai dari asupan pakan bergizi, bebas eksploitasi atau
penganiayaan, ukuran dan kebersihan kandang.
Tercatat sejak 2013, Indonesia
menduduki peringkat ketiga negara dengan produksi biji kopi terbesar di dunia
dengan produksi berkisar 540.000 ton biji kopi per tahun, dari 1,3 juta hektar
areal kebun kopi.
Kopi luwak Indonesia menduduki harga
tertinggi di antara semua jenis kopi, baik domestik maupun internasional. Harga
biji kopi Arabica non luwak berkisar Rp 40.000-50.000/kg, harga biji kopi luwak
Arabica mencapai kisaran Rp 1 juta-Rp 3 juta/kg.
Ditjen P2HP mengembangkan 2 proyek
percontohan, yang berlokasi di Lembang, Bandung dan Bondowoso, Jawa Timur.
"Dua lokasi tersebut telah disurvei dan sudah siap disertifikasi. Semoga
bisa segera diteraplkan oleh pengusaha kopi luwak lainnya," tutur Emilia.
Kedua usaha yang telah memenuhi
standar tersebut berhak memperoleh sertifikasi, atau jaminan tertulis dari
lembaga independen atau Otoritas Kompeten Kopi Luwak. Adanya sertifikat tersebut
dapat menjadi jaminan dan perlindungan bagi konsumen dan produsen terhadap
pemalsuan produk kopi luwak.
Selain itu, Emilia menjelaskan,
upaya ini termasuk untuk mencegah terulangnya kampanye negatif dari kopi luwak
yang diproduksi petani Indonesia di mata internasional. "Negara lain ingin
menyaingi kopi luwak Indonesia termasuk dengan cara yang tidak sehat seperti
kampanye negatif mulai dari tidak higienisnya produksi hingga pemalsuan atau
pencampuran dengan kopi non luwak," terangnya.
Aturan ini diharap bisa menepis
kampanye negatif tersebut, sekaligus menjawab prinsip kehalalan, keamanan
pangan, dan kelestarian lingkungan. Keuntungan bagi produsen yaitu harga biji
kopi hingga secangkir kopi yang dijualnya bisa semakin tinggi.
(dnl/ang/Detik)