Sultan Hamengku Buwono X |
“Jadi pemberdayaan lahan kritis masuk dalam kebijakan rehabilitasi untuk meningkatkan pendapatan petani,” kata Sultan usai penandatanganan nota kesepahaman tentang penelitian dan pengembangan kehutanan, juga rehabilitasi hutan dan lahan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di gedung Pracimosono Kepatihan Yogyakarta, Jumat, 12 Juni 2015.
Benih yang diminta adalah jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk diproduksi. Seperti jati purwo yang dalam waktu 10 tahun bisa mencapai diameter 30 sentimeter sehingga bisa dipanen. Berbeda dengan jati yang ditanam Perhutani yang menunggu waktu 60-80 tahun untuk dipanen.
“Atau tanaman nyamplung yang bijinya bisa untuk biodiesel,” kata Sultan.
Berdasarkan data Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan R. Sutarto, dari 25.700 hektare lahan kritis di DIY, mayoritas berada di Gunung Kidul sebanyak 18 ribu hektare. Sisanya tersebar di Kulon Progo, Bantul, dan Sleman.
Sedangkan total luas lahan hutan di DIY mencapai 94 ribu hektare, meliputi hutan rakyat 76 ribu hektare, hutan negara 18.715 hektare, hutan produktif 13.411 hektare, hutan lindung 2.312 hektare, dan hutan konservasi 2.994 hektare.