Ilustrasi, Beras Yang Dijajakkan Di Pasar |
Dalam laman tersebut disebutkan bahwa Sumber Bareksa yang merupakan salah satu petinggi negara ini meyakini para pemain beras besar ini sudah menjurus pada “mafia” perberasan. “Jumlahnya sekitar 10 pemain besar,” ungkapnya. Menurut dia, berantakannya proses administrasi Perum Bulog yang dimanfaatkan oleh para “mafia” beras juga menjadi penyebab seretnya pasokan beras ke pasar.
Bahkan dalam laman yang berbeda, bareksa menuturkan bahwa Kegagalan melawan mafia beras ini lah yang disinyalir membuat Lenny Sugihat dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Utama Bulog.
Secara kasat mata, mafia beras memang tak terlihat. Tapi indikasi perilakunya bisa tercium. Misalnya, sejak Desember 2014 hingga Januari 2015, Bulog menggelar operasi pasar beras sebanyak 75.000 ton. Beras digelontorkan ke pengelola Pasar Beras Cipinang Jakarta, PT Food Station, dengan harga gudang Rp6.800. Bulog berharap pedagang menjual kepada konsumen Rp7.400/kg. Faktanya, tidak ada pedagang yang menjual beras dengan harga tersebut. Padahal dengan menjual pada harga Rp7.400/kg, pedagang beras sudah untung Rp600/kg.
Alih-alih stabil, harga beras pasca operasi pasar malah cenderung naik. Harga beras medium jenis IR64 terus melesat 15 persen menjadi Rp11.650 per kg pada periode 16-28 Februari 2015 berdasar pada harga PD Pasar Jaya.
Bahkan, saat panen raya pada Maret, harga beras di tangan konsumen tetap tinggi mencapai Rp11.400/kg. Anehnya, harga di tingkat petani turun, tapi justru di tingkat pedagang malah naik -- menunjukkan ada pemain beras yang menahan pasokan. "Harga gabah di level petani turun tajam 8,59%. Tetapi di level pedagang malah masih terjadi kenaikan yang sangat signifikan," ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin seperti dilansir Detikcom pada 1 April 2015.
Harga beras memang berangsur turun, tapi sampai awal Juni pun masih relatif tinggi sekitar Rp10.500/kg.
Inilah link agar anda dapat membaca artikel bareksa.com dengan judul “Harga Beras Masih Mencekik Akibat Ulah Mafia? Ini Datanya”