PENGUMUMAN

Website ini telah pindah alamat ke mediatani.co

Sektor Pertanian Jadi Andalan Indonesia Di Perundingan Doha

Minggu, Mei 31, 2015
MediaTani - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menegaskan Indonesia tetap menempatkan sektor pertanian sebagai sektor strategis dalam perundingan Doha Development Agenda (DDA). Karena itu, sektor pertanian akan menjadi perhatian khusus dalam perundingan Post Bali Work Programme (PBWP).

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan, pemerintah Indonesia segera merumuskan posisi Indonesia dalam perundingan Post Bali Work Programme (PBWP) di World Trade Organization (WTO). Pembahasan PBWP merupakan upaya WTO untuk menyelesaikan perundingan Doha Development Agenda (DDA). PBWP diharapkan dapat disahkan pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) 10 WTO di Kenya pada akhir 2015.

Karena itu, Kementerian Perdagangan perlu ada keterlibatan para pemangku kepentingan dalam proses implementasi paket Bali dan PBWP. Rachmat menuturkan, dalam perundingan tersebut, pemerintah akan tetap memberikan perhatian khusus pada pertanian. Lantaran sektor itu memberikan peran besar dalam rangka ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.

"Pemerintah Indonesia tetap tegas menempatkan pertanian sebagai sektor strategis dalam perundingan Putaran Doha," kata Rachmat.

Ia menjelaskan, PBWP sebagai salah satu keputusan KTM ke 9 di Bali yang sulit mencapai kesepakatan mengenai isu-isu yang diprioritaskan dalam PBWP. Dalam pertemuan Special General Council WTO pada 27 November 2014 menyepakati pengunduran jadi Juli 2015.

"Hingga kini para perundingan di markas besar WTO di Jenewa berusaha keras agar perumusan paket PBWP dapat disepakati sesuai tenggat waktu agar dapat disahkan dalam KTM 10 Nairobi," kata Rachmat.

Beda Pendapat

Rachmat menuturkan, paket Bali merupakan paket pertama yang disepakati olwh WTO. Paket itu mencakup fasilitas perdagangan, pertanian, dan pembangunan serta Least Developed Countries (LDCs).

"Paket Bali mengenai minesterial decision on public stockholding for food security purpose memberi keleluasaan bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Ini memberi subsidi bagi ketersediaan pangan murah bagi rakyat miskin tanpa khawatir digugat Badan Penyelesaian Sengketa WTO," ujar Rachmat.

Rachmat menuturkan, kesepakatan Bali menjadi peluang Indonesia meningkatkan subsidi. Dengan begitu pemerintah Indonesia dapat memberikan subsidi jenis-jenis general services untuk mendukung ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.

"Pada perundingan sektor pertanian, Indonesia memimpin kelompok G33 yang beranggotakan 47 negara WTO termasuk India, China, Korea Selatan, Turki, Filipina, Pakistan, Afrika, dan Karibia. Usulan yang digulirkan G33 mencakup hal-hal berkaitan dengan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan," ujar Rachmat.

Dalam perundingan PBWP, Rachmat mengatakan, Indonesia bersama kelompok G33 mengusulkan proposal Special Product dan Special Safe Guard sebagai pengaman proses liberalisasi sektor pertanian. Kelompok G33 ini menginginkan perundingan pertanian yang didasarkan modalitas Rev4 untuk pertanian pada WTO 2008. Namun negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa meninggalkan karena tidak mencerminkan kondisi saat ini.

"Negara maju berpandangan kalau Rev 4 tidak lagi mencerminkan peningkatan peran dan beban yang harus ditanggung perekonomiannya semakin membaik.

Modalitas Rev 4 mewajibkan negara maju melakukan pemotongan subsidi dan tarif lebih besar. Sedangkan emerging economics tetap diperlukan sebagai negara berkembang yang hanya diminta pemotongan tarif dengan skala lebih kecil," ujar Rachmat.

Untuk diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggelar acara bertajuk International Workshop In Post Bali Work Programme yang berlangsung di Jakarta pada 29-30 Mei 2015. Acara ini membahas tindak lanjut 'Paket Bali' atau kesepakatan anggota WTO untuk melakukan berbagai penyesuaian kebijakan perdagangan nasional.(L6)