Ketua Harian
HKTI Jabar Entang Sastraatmadja mengungkapkan bahwa keberadaan bank pertanian adalah
hal yang sangat penting. Mendasar pada banyaknya kendala yang dihadapi oleh
petani saat diperhadapkan dengan prosedur perbankan.
"Kredit
untuk petani harus disesuaikan dengan karakteristik sektor pertanian. Mulai
dari suku bunga yang rendah serta skema cicilannya,” Tutur Entang pada harian
bisnis, Rabu (25/3/2015).
Sebenarnya amanat
pembentukan bank pertanian sudah termaktub dalam Undang-undang Nomor 19/2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Hanya saja akibat belum adanya
peraturan pemerintah (PP) serta peraturan presiden (Perpres) yang keluar
sehingga proses pembentukan bank pertanian terhambat.
“Undang-undang
tersebut sudah menjadi dasar hukum untuk mendirikan bank pertanian. Sekarang,
bagaimana pemerintah memikirkan mekanisme operasional pendiriannya, karena
dalam pasal sudah ada poinnya tinggal diperdalam,” tambahnya.
Pembentukan
bank pertanian seharusnya dilakukan dalam waktu dekat, agar petani dapat semakin
termotivasi meningkatkan produksinya.
“Bank yang
khusus menangani pertanian sudah banyak ditemui di beberapa negara seperti di
Jepang, Thailand dan Malaysia. Hal itu karena karakteristik usaha pertanian
yang berbeda dengan sektor lainnya,” ujarnya.
Sekalipun
demikian, pemahan petani mengenai Bank juga masih minim. Sehingga, katanya,
pendirian bank pertanian harus sekaligus dengan pemberian pemahaman perbankan
terhadap petani.
Selain itu,
Entang melanjutkan pembentukan bank pertanian harus murni dari lembaga
pemerintah karena jika diserahkan kepada swasta berisiko cukup berat.
"Dulu
pernah ada dari swasta yaitu mengurusi asuransi dan pemodalan petani, tetapi
sulit dan akhirnya layu sebelum berkembang. Ini memang harus dari pemerintah
karena petani sangat butuh dan pasti akan bermanfaat nantinya," katanya.
Pakar
Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Tomi Perdana mengakui bila selama ini
perhatian lembaga pembiayaan seperti bank masih belum banyak mengucurkan kredit
bagi petani karena dianggap belum bankable.
Menurutnya,
jumlah kredit untuk sektor pertanian masih kecil tidak lebih dari 5,7% dari
total kredit yang disalurkan perbankan nasional. Dari jumlah kredit tersebut
sebesar 80% di antaranya untuk perkebunan kelapa sawit dan 4%-nya untuk sektor
pangan dan hortikultura.
"Bank
menganggap sektor pertanian pangan dan hortikultura itu mengandung risiko yang
besar dan ada ketidakpastian harga serta produksi. Jadi, mereka malas,"
katanya.
Nasib sawit
sebagai bagian dari perkebunan dianggap memiliki kejelasan baik harga pasar dan
sejumlah risiko yang bisa dihadapinya bisa dikendalikan. Sedangkan, untuk
pangan belum banyak pihak yang memahami cara mengendalikan risikonya
.
Dengan
kondisi seperti ini, jelas petani di sektor pangan dan hortikultura kian
kesulitan saat mereka membutuhkan suntikan dana akibat merugi pasca dihantam
hama atau cuaca yang tidak bersahabat. Untuk itu, harus ada bank yang fokus
menggarap di bidang pertanian.
"Selama
ini lembaga pembiayaan yang menggarap itu tidak memahami manajemen risiko
pertanian. Jadi mereka tidak mau ambil risiko," ujarnya.
Padahal, dia
telah menggarap sebuah pilot project pembiayaan rantai nilai pertanian bekerja
sama dengan Bank Indoensia. Hal ini didasari dengan kesalahpahaman yang
dilakukan pemerintah dalam menangani sektor pertanian.
"Kami
menganggap produksi pertanian hingga distribusi barang dan penjualan hasil
pertaniannya satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tapi, dalam kenyataannya
institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap itu terpisah-pisah,"
ucapnya.
(Bisnis/IA)