MediaTani.com - Sejumlah petani tembakau yang
tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta pemerintahan
Joko Widodo (Jokowi) untuk mempertegas sikap tidak akan meratifikasi
kesepakatan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Hal tersebut
merupakan salah satu rekomendasi dari Musyawarah Nasional (Munas) APTI ke III
yang digelar di Magelang, Jawa Tengah sejak Selasa (28/7) kemarin.
Ketua APTI Jateng Wisnu Brata
menjelaskan gagasan pembatasan penggunaan tembakau yang didorong industr
farmasi internasional melalui FCTC tersebut dikhawatirkan bakal memberangus
industri hasil tembakau nasional. Oleh karena itu APTI mengambil sikap menolak
kesepakatan tersebut diberlakukan di Indonesia.
Menurut Wisnu, para petani
tembakau masih memegang janji Jokowi yang akan melindungi semua industri padat
karya termasuk industri hasil tembakau (IHT) dan para petani yang terlibat di
dalamnya.
"Saya masih percaya
Presiden, beliau menjanjikan petani mendapatkan perlindungan. Makanya kami
berharap kebijakan itu tidak hanya mengedepankan kepentingan kesehatan atau
kesejahteraan. Harus dalam win-win solution tidak saling merugikan," kata
Wisnu, Rabu (29/7).
Menurut APTI, jika Indonesia
meratifikasi FCTC maka akan terikat untuk mengikuti seluruh kesepakatan yang
ada di dalamnya yang belum tentu sesuai dengan situasi ekonomi para petani
tembakau, sosial dan budaya masyarakat. Oleh karena itu Wisnu menilai,
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan harus membahasnya bersama dengan semua
komponen masyarakat yang pro dan kontra dengan FCTC.
"Anak-anak hingga usia 18
tahun dilarang merokok kami setuju. Namun jangan kemudian mengarahkan petani
untuk mengganti tanaman tembakau menjadi tanaman lain,” tegas Wisnu yang
menyatakan seluruh rekomendasi hasil Munas APTI akan disampaikan kepada Jokowi.
Terpisah, Ketua Gabungan
Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran mendukung penuh
keinginan petani tembakau yang menolak FCTC. Alasannya, mplikasi penerapan FCTC
sangat besar terhadap IHT. “Karena regulasi internasional ini sifatnya
mengikat,” ujarnya.
Padahal IHT saat ini merupakan
industri penting nasional. Dengan kontribusi cukai dan pajak yang mencapai Rp
250 triliun dan menyerap jutaan tenaga kerja, pemerintah selayaknya memberikan
perlindungan yang memadai.
“Pemerintah seharusnya berpikir,
rontoknya industry hasil tembakau tentu berdampak sangat luas, baik terhadap
penerimaan negara maupun isu tenaga kerja,” beber Ismanu.
Pengamat ekonomi politik,
Salamudin Daeng juga mengingatkan agar pemerintah memperbaiki regulasi yang
berkait dengan IHT, memperbaiki struktur industri agar bisa bersaing di pasar
internasional, subsidi untuk petani tembakau agar harga bisa bersaing dengan
tembakau impor asal Tiongkok. “Bahkan
kalau perlu asuransi pertanian untuk melindungi petani dari gagal panen atau
bencana,” imbuhnya.
Di level kebijakan perdagangan
dan keuangan, perlu diterapkan lagi bea masuk untuk melindungi produk tembakau
dalam negeri. Juga tidak kalah penting, suku bunga industri ditekan. Jika
tidak, maka industri dalam negeri bisa mati.
"Kalau kemudian biaya tenaga
kerja 25 persen, kemudian biaya gabungan pajak cukai mencapai 25 persen maka
maka industri tidak efisien. Ujungnya, pemerintah juga yang rugi karena harus
menanggung beban pengangguran akibat rontoknya IHT,” ujar Daeng.