PENGUMUMAN

Website ini telah pindah alamat ke mediatani.co

Indonesia dan Masalah Pertanian

Jumat, Februari 20, 2015
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan memiliki banyak pulau, salah satu pulau tersebut ialah Pulau Jawa. Pulau Jawa memilki luas 132.000 Km², kira-kira 9% dari luas Indonesia yakni 1,5 juta km². Akan tetapi dari seluruh jumlah penduduk Indonesia hampir 2/3 penduduknya bertempat di Jawa. Ini berarti 9% luas tanah Indonesia menampung 2/3 jumlah penduduk sedangkan lebih dari 90% luas tanah hanya menampung1/3 jumlah penduduk.
Pola kontras antara jawa dengan luar jawa ini juga dapat dilihat dari penggunaan tanah. Hampir 70% Pulau Jawa ditanami setiap tahun, sedangkan diluar jawa hanya sekitar 4%. Bagian luar jawa hampir 90% ditanami dengan cara perladangan, bercocok tanam berpindah-pindah dan tebang bakar. Sementara di Jawa hampir seluruhnya ditanami 2 kali setahun dengan cara sawah beririgasi.
Sejarah menjadi penting bukan karena romantisme nostalgia atau mengagungkan kebanggaan prestasi, tetapi justru karena dapat menjadi cermin untuk mengenal jati diri dan memperbaiki hari esok dalam lintasan sejarah itu sendiri. Perjalanan sejarah pertanian Indonesia dihiasi dengan serangkaian keberhasilan yang patut disyukuri. Setelah kemerdekaan Indonesia mencapai surplus produksi beras dan mengirimkan sebagian berasnya pada India yang ketika itu tengah mengalami bencana. Indonesia juga dikenal sebagai eksportir gula yang utama. Setelah melewati krisis politik pada pertengahan Tahun 1960, Indonesia berhasil menerapkan paket teknologi kelembagaan hingga mampu menjadi negara yang dikenal mampu menjadi negara berswasembada. Keberhasilan swasembada beras pada pertengahan Tahun 1980 dapat ditunjukkan oleh angka-angka statistik yang cukup meyakinkan, namun disisi lain, kondisi swasembada yang terjadi hanya dalam waktu singkat dan biaya sangat besar mendapatkan beberapa permasalahan di kemudian hari.

Menanggapi sukses ekonomi Indonesia yang sangat luar biasa, seorang analis ekonomi Hal Hill menulis :
Seperempat abad terakhir merupakan periode perubahan yang luar biasa pesatnya bagi Indonesia. Diawal-awal Tahun 1960-an, Indonesia sebenarnya tidak banyak dikenal orang. Semenjak Tahun 1966 ekonominya berkembang mencapai 500% dan penduduknya sekitar 75%. Masyarakatnya lebih terdidik dan tercukupi dalam sandang dan pangan daripada sebelumnya. Kemiskinan pun semakin berkurang secara signifikan… Saat ini bangsa Indonesia mampu mencukupi dirinya sendiri. Ia siap bergabung dalam barisan “naga ekonomi” Asia lantaran berbagai hasil industrinya melampaui hasil-hasil di bidang pertanian (Hill, 1994).
Revolusi hijau memang mampu meningkatkan produksi beras nasional dan mengubah status Indonesia dari pengimpor beras terbesar menjadi negara swasembada beras pada Tahun 1984. Namun setelah itu, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras. Pada Tahun 1985, Indonesia mengimpor 9.429 ton beras. Sedangkan pada Tahun 1987 impor beras Indonesia meningkat menjadi 54.830 ton dan pada Tahun 1992 mencapai 566.441 ton. Hardiyoko dan Panggih Saryoto menuliskan :
Dari data yang ada, produksi beras nasional Indonesia tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan beras penduduk mulai Tahun 1985. Meski revolusi hijau mampu mengangkat swasembada beras, namun penerapannya telah berdampak negatif terhadap lingkungan dan manusia.
Pada orde baru, “politik swasembada” menjadi bendera utama pengelolaan pembangunan pertanian, dengan mengembangkan dan menerapkan program yang sebenarnya sudah dicanangkan sebelumnya, yaitu intensifikasi dengan penerapan teknologi, ekstensifikasi, rehabilitasi dan berbagai program lain. Keberhasilan program swasembada beras sebagai monumen keberhasilan pembangunan pertanian orde baru, dicapai setelah lebih dari 15 tahun program Pelita dijalankan dan penetapan pertanian sebagai prioritas (sementara sektor lain menjadi penunjang), menjadikan pembangunan pertanian sebagai program di semua lini pemerintahan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian pada masa itu lebih dari 60 % ditentukan oleh faktor infrastruktur dan kelembagaan penunjang, sedangkan sekitar 40 % sendiri ditentukan oleh berbagai usaha yang dilakukan internal sektor pertanian sendiri. Namun setelah pertengahan Tahun 1980-an –setelah industri ditempatkan sebagai prioritas pertama- ekonomi Indonesia kemudian memang berkembang lebih cepat, tetapi juga menjadi lebih rapuh yang berakhir dengan krisis finansial Tahun 1997/1998.
Pada masa transisi reformasi, politik pertanian Indonesia terbawa oleh arus perkembangan politik nasional yang lebih besar. Departemen Pertanian melakukan pembangunan pertanian yang terdesentralisasi sesuai dengan era politik yang dianut pada masa tersebut. Selain itu arah pertanian menjadi lebih berdaya saing yang mencerminkan perlunya usaha menghadapi tekanan persaingan yang semakin besar, berkerakyatan yang mencerminkan semangat partisipasi dan berkelanjutan sejalan dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.